15.8.13

portofolio

feel free to view our projects @ http://www.coroflot.com/dimashartawan

29.4.10

black swan dan arsitektur

Black swan merupakan sebuah simbol dari pemikiran yang terbuka terhadap anomali. Anomali dalam peradaban seringkali terjadi dan hal ini merupakan sebuah keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi, bukan merupakan sesuatu hal yang istimewa. Gejala-gejala penyimpangan dan penemuan-penemuan baru (secara statistik) dijelaskan akan selalu terjadi dari masa ke masa dan seringkali menimbulkan polemik dalam masyarakat. Namun percayalah bahwa hal tersebut akan segera berlalu dan sekedar menjadi bagian dari sejarah peradaban. Tentu saja selalu ada kejadian penting yang mengubah hidup kita secara signifikan, dan ada yang sekedar memberi warna pada sejarah. Yang menarik adalah bagaimana terkadang hal yang sebenarnya tidak terlalu signifikan mampu membuat masyarakat terkaget-kaget, bergolak, dan rusuh. Ada keterkejutan dalam menghadapi sebuah event baru.

Kadangkala kita berharap semuanya berjalan dengan normal-normal saja, namun ini bukanlah jalan hidup peradaban manusia. Bila kita memandangnya dari sudut pandang positif, pada masa kita hidup saat ini kita terus didorong untuk berpikir dan dituntut untuk menyumbangkan ‘kebaruan’ dalam karya-karya kita. kita secara tidak langsung terus dituntut peradaban untuk mencari-cari black swan baru. Kita haus akan penemuan-penemuan baru. Adakalanya berhasil, seringkali tidak terlalu berhasil.
Taleb mendeskripsikan posisi peradaban kita saat ini sebagai sebuah extremistan, dimana kita tunduk pada tirani hal/ kejadian yang tunggal, kebetulan, tidak terlihat, dan tidak dapat diramalkan. Ia membedakan extremistan dengan mediocristan pada peradaban masa lalu, dimana kita tunduk pada hal-hal yang kolektif, yang rutin, yang jelas, dan yang dapat diramalkan.

Terkait dengan event, krisis ekonomi tahun 1998 adalah sebuah black swan. Kejadian ini me-revolusi bangsa kita. Beralihnya kekuasaan dari rezim militer kepada sipil memberi ruang gerak luar biasa bagi kebebasan masyarakat. Perkembangan kebebasan informasi melalui industri media saat ini telah jauh berada di depan negara tetangga seperti Malaysia atau bahkan Singapura.

Tapi dimana kita dapat menemukan black swan dalam arsitektur Indonesia? Pertanyaan yang memunculkan pertanyaan baru: mengapa sepertinya sulit mencari kejadian penting yang muncul dari karya arsitektur kita? Apakah karena pencarian kita selama ini datar-datar saja? Apakah karena selama ini kita tenang-tenang saja karena didukung oleh alam yang bersahabat? Lantas kritik yang muncul adalah bahwa “sebagian besar arsitek kita tidak dalam pencarian”. Benarkah?
Dalam arsitektur, menurut saya, rumah baja karya Djuhara adalah sebuah black swan skala kecil pada masanya, dimana ia muncul di luar harapan masyarakat umum: sebuah hunian dari susunan baja bekas, yang sangat layak untuk ditinggali. Secara positif karya ini kemudian mendorong munculnya workshop-workshop dan studi lebih lanjut tentang rumah baja, walau kemudian kembali tenggelam setelah harga baja melonjak tinggi akibat pembangunan besar-besaran bangsa Cina.

Atau mungkin karena arsitek-arsitek kita dididik secara sederhana: hanya untuk menjadi the doer, bukan sekaligus the thinker? Padahal kita mengerti desain sebagai sesuatu yang berada di antara aksi dan pemikiran yang mendalam. Sehingga memang arsitek selalu dituntut untuk sanggup memerani “do” dan “think” sekaligus. Do tanpa think laksana drafter, dan think tanpa do laksana pertapa arsitektur. Jenis yang mana yang kita harapkan dari lulusan perguruan tinggi arsitektur kita?

Seorang rekan kebetulan bekerja di sebuah perguruan tinggi arsitektur yang dikenal sangat berorientasi pasar. Dari perbincangan sederhana, ia menjelaskan konsep pendidikan yang dilaksanakan perguruan tinggi tersebut. “..kami realistis, harus diakui bahwa pasar kita menuntut lulusan siap pakai. Bila yang diminta pasar adalah drafter, ya kita sediakanlah.. Justru di situlah kekuatan kami. Terbukti bahwa kemudian konsep ini berhasil dan pengakuan dari masyarakat pun kemudian muncul, bahwa lulusan kami siap kerja.”

…….

Tentulah konsep demikian tidak dapat disebut salah. Saya rasa setiap perguruan tinggi (terutama swasta) perlu menajamkan konsep yang menjadi bagian dari pembentukan brand image-nya di mata masyarakat. Namun tentunya kita berhak untuk memberi kritik membangun. Bahwa ketajaman berpikirlah yang akan memajukan arsitektur bangsa ini. Di tengah tekanan untuk terus mempersingkat waktu studi, saya khawatir perguruan tinggi kita semakin terjebak dalam konsep praktis, untuk menyediakan yang diinginkan pasar. Sehingga, kemudian bukan hanya karya arsitekturnya yang disebut komoditas (hal ini sudah cukup buruk), tapi lulusan perguruan tinggi arsitektur juga kemudian menjadi komoditas dagangan. Astagfirullah.

Pustaka: The Black Swan, Nassim Nicholas Taleb

14.4.10

kota yang menangis ditampar kebodohan pergerakan


Saya, walau terkadang sangat terbantu oleh mobil dalam mobilitas sehari-hari, sebenarnya merasa berdosa menggunakannya. Pengetahuan adalah beban, dan semakin membaca isu-isu keberlanjutan (sustainability) semakin merasa berdosalah saya menggunakan mobil. Tidak ada secuil bagian dari perkembangan mobil saat ini, yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Brundtland report menjelaskan pendekatan keberlanjutan setidaknya didukung oleh 4 pilar utamanya: usaha mengurangi kemiskinan (dengan penjelasan bahwa kemiskinan turut mendegradasi kualitas lingkungan), usaha mengurangi konsumsi sumber daya dan mengurangi produksi sampah, kerjasama global dalam menjawab isu lingkungan, serta pendekatan keberlanjutan yang community-based dengan mempertimbangkan budaya lokal.

Mobil adalah alat transportasi yang sangat personal, yang dalam kehidupan berkota menuntut ketersediaan ruang yang sangat besar. Uni of Northampton merilis data bahwa pada jam sibuk di Inggris, 80% mobil yang memenuhi jalan hanya terisi oleh pengemudinya; sehingga terdapat 38 juta kursi kosong di Inggris setiap harinya. Bila di Inggris saja terdapat 38 juta kursi kosong, kita dapat membayangkan betapa tidak efisiennya moda transportasi ini bagi masyarakat di kota-kota besar kita, yang harus berhadapan dengan kemacetan setiap harinya. Hal ini diperparah dengan tidak ramahnya ruang luar di kota-kota kita, sehingga untuk mencapai jarak 300 meter saja, banyak orang memilih menggunakan mobil.

Tentunya pihak produsen juga sepenuhnya sadar akan hal tersebut, dan mencoba menggoda konsumen dengan usaha yang mereka sebut-sebut semakin men-sustainable-kan moda transportasi ini. Mesin hybrid, semi elektrik, pengembangan bahan bakar, dan pengembangan-pengembangan lain yang membuat konsumen merasa lebih sedikit berdosa dan harus membayar lebih mahal. Namun hal-hal tersebut tidak mengurangi dosa mobil terhadap pembentukan ruang-ruang kota kita, terhadap budaya dan perubahan gaya hidup masyarakat kebanyakan.

Saya meyakini bahwa kita telah salah arah dan semakin tersesat dalam kebijakan transportasi kita. Pemerintah baru-baru ini melansir rencana kerjasama dengan produsen mobil untuk memproduksi mobil murah di kisaran harga 70 juta rupiah. Apa yang sedang dipikirkan oleh pemerintah? Sampai kapan badai invasi mobil terhadap ruang sosial kita ini berlangsung? Mau sampai kapan pemerintah kita terjebak dalam kewajiban untuk membangun jalan tol secara masiv? Dan tentunya, gaya hidup pergerakan seperti apa yang dicita-citakan pemerintah kita dan ruang kota seperti apa yang akan dibentuk? Bagaimana kemudian arsitektur dapat menolong ruang kota kita? Tentu arsitektur tidak ingin hanya menciptakan ruang-ruang pelarian dari kejamnya jalanan ibu kota, melainkan turut berkontribusi positif bagi kehidupan berkota.

Ancaman yang besar dari budaya masyarakat bermobil, adalah bahwa seperti manifestasi teknologi lainnya, pada akhirnya jutaan unit mobil akan berakhir sebagai sampah yang menuntut daur ulang besar-besaran, menimbulkan masalah ketergantungan, mengisolasi masyarakat dari potensi interaksi sosial selama pergerakan, menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal, dan proses tersebut irreversible.

Tempo hari, saya menjalani ritual mengunjungi orangtua di Jakarta. Seperti biasa, Senin pagi saya menyaksikan bagaimana ribuan mobil yang menuju Jakarta berhenti di sepanjang jalan tol JORR Cikunir sampai Bekasi Timur karena macet. Tentu tidak perlu dijelaskan bagaimana kondisi lalulintas di sekitar pusat aktivitas dalam kota Jakarta. Hal tersebut jelas merupakan gejala dimana masyarakat komuter ‘disiksa’ oleh keterbatasan pilihan moda transportasi yang layak. Benar bahwa moda transportasi mobil mengalami kemajuan teknologi yang pesat, namun jebakan ketergantungan terhadap mobil pribadi dan kecenderungan terhambatnya pengembangan transportasi massal merupakan ancaman yang serius bagi ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat kita. Semakin jelas bahwa pendekatan transportasi kita merupakan model yang harus berubah.

Kabar selanjutnya lebih menyedihkan lagi. Seorang kerabat dekat, dengan pendapatan yang sebenarnya telah lumayan cukup, kemudian lebih memilih untuk memiliki sebuah mobil daripada mencicil rumah. Ini adalah sebuah sistem yang gila, atau lebih tepatnya sengaja dibuat gila oleh sebagian kaum kapitalis yang berkepentingan dalam hal ini. Mungkin teori-teori sosial perlu berubah, khusus untuk kondisi lokal kita agar lebih kontekstual. Kebutuhan primer kita bukan lagi sandang pangan papan, tetapi sandang pangan mobil. Mungkin papan sudah menjadi kebutuhan sekunder yang tidak begitu penting. Selama masih bisa menumpang di rumah mertua, saudara, kerabat, dan sebagainya. Pada kondisi ini, arsitektur telah kalah diminati masyarakat dibandingkan sebuah benda bermotor dengan empat roda.

Dengan setengah terpaksa, saya kemudian memilih untuk mengendarai motor dalam mobilitas sehari-hari. Dengan begitu, saya merasa lebih sedikit berdosa terhadap ruang kota, dan mengurangi jumlah kursi kosong di jalan-jalan kota kita. Tapi tetap saja, saya merasa mungkin dalam waktu dekat akan tiba waktunya dimana jumlah motor di jalan raya menjadi masalah baru bagi ruang urban kita.




Pustaka:

James Steele: Sustainable Architecture: Principles, Paradigms, and Case Studies

Peter Newman + Jeffrey Kenworthy: Sustainability and Cities: Overcoming Automobile Dependence

28.10.09

how, then?

walter gropius once said, "How can we expect our students to become bold and fearless in thought and action if we encase them in sentimental shrines feigning a culture which has long since disappeared?"

7.4.09

visualisasi dalam desain urban



[ 1 ] ...

Secara historis, kota tidak hanya merepresentasikan kumpulan bangunan, tetapi juga sebuah perwujudan kosmologi peradaban. Pentingnya dinding yang mengelilingi kota tidak hanya berorientasi untuk perlindungan, tetapi juga sebagai sebuah garis yang memisahkan peradaban dengan dunia liar, antara pengetahuan dan misteri.

Pentingnya geometri dalam konteks historis adalah bahwa ia merupakan perwujudan makna-makna.

Para desainer urban kontemporer dihadapkan pada kota dengan sistem-sistem pergerakan dan informasi yang saling overlapping yang kemudian membuat pembacaan kota melalui geometri menjadi tidak relevan lagi. Selalu terdapat diskusi aktif mengenai peran bentukan fisik dalam mewujudkan mobilitas dan informasi.

Pada umumnya, isu visualisasi urban berfokus pada dua permasalahan, yaitu proses grafis secara cerdas, dan kumpulan data yang sangat besar jumlahnya. Kita telah melihat bagaimana prinsip yang dikemukakan lynch dalam The Image of the City dapat diterapkan dalam permasalahan yang ada. Sangat banyak referensi yang dapat dilihat, terkait bagaimana data yang super banyak dengan diversitas yang tinggi dapat diintegrasikan dan divisualisasikan secara unik.
Yang akan disinggung di sini adalah survey atas posisi teori desain dan kemungkinan aplikasinya pada konsep-konsep alternatif visualisasi urban.

Tentunya terdapat beberapa hal yang harus dijelaskan terlebih dahulu.
Pertama adalah bahwa kita lebih tertarik pada urban design, bukan urban planning. Perbedaan yang signifikan antara keduanya adlah bahwa planning cenderung fokus pada isu-isu kebijakan, sementara desain urban lebih fokus pada bentuk fisik kota. Keduanya dapat digabungkan, tentu saja. Tetapi tampaknya dalam proses analitis lebih baik keduanya dipisahkan terlebih dahulu.
Kedua, tentunya ini bukanlah sebuah survey historis. Ketertarikan kita pada teori yang ada lebih pada peran yang dapat mereka sumbangkan bagi pembentukan legibilitas kota, yang memiliki potensi dalam intervensi ruang kota dan bukan sekedar solusi yang sifatnya utopia.
Ketiga, minat kita pada khususnya adalah ketertarikan terhadap perilaku bagaimana skema teori yang ada dapat diterapkan sebagai prinsip dalam visualisasi lingkungan urban yang kompleks.


[ 2 ] ... pemetaan kognitif

Bagaimana kita menyederhanakan lingkungan urban yang kompleks ke dalam pikiran kita?

pendekatan pemetaan kognitif atau cognitive mapping didasarkan pada metode perseptual dimana kita menstrukturkan dan kemudian menyimpan persepsi spasial kita. E.C. Tolman pada 1948 memperkenalkan ide peta kognitif dan penjelasan proses psikologis secara umum. Pendekatan ini kemudian diidentifikasi secara lebih komprehensif oleh Kevin Lynch, salah satu perencana paling ternama Amerika, yang mempelajari kota dengan konsentrasi pada persepsi manusia dan navigasi. lynch mempublikasikan The Image of the City pada 1960 dengan ide sentral pada "imagability" yang mempelajari elemen persepsi kota dan elemen kognitifnya.

Pekerjaan Lynch memberi teknik dasar untuk mengerti peta mental dari sebuah kota dengan cara: menyadari bahwa lansekap kota memiliki elemen yang dapat didefinisikan, yang oleh Lynch didefinisikan sebagai paths, edges, districts, nodes, dan landmarks. Elemen-elemen ini merupakan penjabaran deskriptif dari organisasi ruang urban, dan merupakan sebuah metode universal dalam navigasi dalam kota. Lynch percaya bahwa elemen-elemen ini juga terkait secara langsung dengan bentuk, organisasi, dan fungsi yang ada dalam kota. Lynch mempelajari kota-kota dengan organisasi spasial yang berbeda-beda seperti Boston, New Jersey, dan LA untuk mencoba metodenya dalam memvisualisasi bentuk dalam skala urban. Melalui metode ini, setiap kota dapat diidentifikasi melalui lima elemen yang telah disebutkan.

Ide Lynch akan peta kognitif cukup terkembangkan dengan baik untuk membaca visualisasi urban eksisting dan dunia virtual yang tersirat. Kelima elemen yang dijelaskan Lynch dapat diimplementasikan ke dalam model urban yang kompleks melalui unit-unit kognitif. Contohnya adalah bahwa distrik dapat diidentifikasi oleh repetisi blok atau geometri bangunan, atau melalui identifikasi edges. Dalam pendekatan ini, peta kognitif akan terlihat dalam gambaran yang planar/ dua dimensi; hanya landmark yang sifatnya tiga dimensi.


[ 3 ] ... pendekatan eksperiensial/ pengalaman ruang

bagaimana pengalaman pergerakan membuka pencerahan akan ruang kota dan membentuk kota?

kota terkadang kita pahami sebagai bentukan lansekap yang terkonstruksi, sebuah pandangan yang membuka jalan pendalaman visual terhadap lingkungan urban. Pandangan ini terkadang diasosiasikan dengan picturesque dalam desain taman kota.

seorang arsitek Inggris Gordon Cullen menjabarkan pendekatan pengalaman ruang dalam bukunya, Townscape (1961), sebuah kumpulan gambar-gambar dan essay yang mengekspresikan kota dengan cara 'membongkar' gambar yang ditangkap mata manusia. Kebanyakan contoh yang ia kemukakan adalah kota-kota kecil di Inggris yang pertumbuhannya incremental.

Cullen mengkonsepkan kota sebagai sebuah panggung hubungan yang kompleks. Ia berpendapat bahwa terdapat banyak elemen yang berperan dalam pembentukan lingkungan: bangunan, pepohonan, lingkungan natural, elemen air, lalu lintas, reklame, dan sebagainya, yang bergabung bersama, menghasilkan suatu kombinasi yang membentuk sebuah drama visual. Cullen tidak percaya bahwa proses menjabarkan dan mengerti kota dapat diperoleh melalui pendekatan yang sifatnya teknis atau scientific, tetapi dapat diperoleh melalui sebuah proses pemaknaan visual.

Pendekatan pengalaman ruang yang ia ajukan menggunakan tiga elemen yang bertujuan untuk menganalisa lingkungan yang kompleks atau "townscape": optik, tempat/place, serta kandungan/ content. ia memperkenalkan optik sebagai konsep serial vision, dimana pergerakan dalam sebuah kecepatan yang tetap menyusuri lingkungan urban menghasilkan dua hal, yaitu pandangan eksisting dan kemungkinan pandangan yang mungkin muncul dalam sebuah serial. Pergerakan di dalam lingkungan urban ini menghasilkan sebuah serial "jerks and revelations".

Tempat/place mengacu kepada sebuah pengalaman plastis, sebuah perjalanan melalui 'tekanan' dan 'kekosongan', melalui 'pressures' dan 'vacuums'. Cullen mendaftar sebuah set kualitas dari sebuah townscape yang menghasilkan sebuah sense of place, seperti enclosure, gateway, perubahan level, penyempitan, dan sebagainya. Dengan ini, seseorang akan dapat mengidentifikasikan ruang dimana ia berada, dan menciptakan 'disini' dan 'disana'. Sebagai contoh, sebuah tempat akan sangat terasa saat seseorang berada di pinggir jurang, atau berada di dalam sebuah terowongan, misalnya.

kandungan/ content mengacu kepada permukaan sebuah tempat yang mengandung organisasi visual tertentu melalui gaya/style, tekstur, material, dan warna. Pengenalan yang diberikan Cullen akan terkstur cukup unik; tidak melalui topik yang umum digunakan para teoritis urban lainnya, Cullen menghubungkan hal ini pada reaksi emosional yang muncul pada ruang kota melalui estetika.

Minat kita terhadap visualisasi urban oleh Cullen ini terpusat pada dua aspek pekerjaannya. Aspek fokus yang pertama adalah pada serial vision serta hubungan antara vision dan place. Kedua poin ini cukup menjanjikan, cukup memberi potensi penggunaan animasi sebagai alat mengkonsepkan ruang urban.
Aspek fokus yang kedua adalah "content", yang kita artikan sebagai tekstur dalam visualisasi urban. Beberapa percobaan telah dilakukan dalam buku Cullen, tetapi kita percaya bahwa sangat mungkin untuk menggunakan tekstur lebih dari sekedar pelengkap finishing dalam ruang urban.

14.3.09

simply not enough.


seorang teman berkomentar mengenai pragmatisme cara pikir. simple, straight to the point, tepat, padat, terstruktur, cermat, dan kontekstual. ia merasa bahwa manusia berpikiran pragmatis adalah manusia yang tidak peduli teori. praktis.
tapi mungkin masalahnya bukan itu.. setelah baca beberapa.. (mungkin karena baru beberapa..), ternyata teori urban tidak sebanyak, tidak semenakutkan, dan tidak sememusingkan yang dibayangkan. tapi sering dilupakan, atau digunakan terpisah2, sehingga cara pikirnya menjadi tidak menyeluruh.. bagilah teori urban eropa itu ke dalam 4 pandangan saja: fungsionalis, humanis, sistemik/strukturalis, dan terakhir.. formalis.. nah.. cuma 4 pandangan kan? tapi tentunya harus dihayati seluruhnya dulu ya.. setelah itu barulah tentukan semangat anda dengan menghitung kancing baju.

mungkin karena merasa dekat dengan semangat "pro-suasanahatipenggunaruang", pengaruh pandangan humanis mencolek hati saya lebih dalam. kritiknya bukan tidak sedikit.. banyak! karena semangat pandangan humanis mungkin juga membingungkan pemikir2nya sehingga tidak terformulasikan sejelas dan sekomprehensif tiga pandangan lainnya. ia lebih merupakan koleksi intensi, teknik, dan ide2 desain.. ia muncul sekitar tahun 50-60an, bukan sebagai sebuah teori tetapi lebih sebagai reaksi ketidakpuasan atas pemikiran fungsionalis yang muncul sebelumnya. beberapa pilar perilaku humanis adalah British Townscape School, Team10, serta beberapa arsitek belanda.

kritik yang ada mengatakan bahwa kaum humanis tidak memperhitungkan isu-isu berskala besar dan kebutuhan keseluruhan kotanya.. katanya, misalnya, walaupun sebuah rumah/hunian didesain di level akar rumput, tetapi ia merupakan bagian dari sistem permukiman yang membutuhkan perspektif dan pandangan yang super komprehensif.. perancangan yang sifatnya incremental dari kaum humanis dapat menimbulkan permasalahan dalam mengerjakan sistem urban dalam skala yang lebih luas..

tentu pendapat yang demikian ada benarnya. tapi alangkah baiknya bila kita memandang bahwa semua (keempat) pandangan yang disebutkan di awal tulisan sebenarnya tidak berjalan terpisah, walaupun masing2 berkembang pada masa yang berbeda. kita yang tercemplung di bidang ini, saat ini, di seluruh bagian dunia, seharusnya menikmati keragaman pemikiran yang ada. mengertilah bahwa masing-masing pandangan tersebut kini sedang bekerja. mereka bukanlah sesuatu yang bila kita pilih salah satunya maka tiga yang lainnya akan jalan di tempat. semua pandangan itu berjalan lancar2 saja kok.. yang manapun yang kita pilih, kita hanya menjalankan peran kita sebagai bagian dari sebuah komunitas global. semua pandangan ini terus berjalan dan berkembang. tentu dalam skalanya masing2. masing-masing pendekatan memiliki skala dan konteksnya masing2..

kembali mengkhususkan bahasan pada pandangan humanis, saya lebih suka untuk berpikiran terbuka, bahwa tidak jelasnya formulasi dan tidak komprehensifnya pemikiran para pendahulu kita, seharusnya dipandang sebagai sebuah kesempatan dalam mengembangkan dan menajamkan pisau analisis kita. pandangan humanis dekat dengan ilmu persepsi, serta apresiasi ruang urban oleh pikiran dan memori manusia melalui pengalaman sehari-hari akan selubung/ enclosure di ranah ruang kota. karena terkait dengan persepsi dan sense, saya tergoda untuk teringat tentang ide yang powerful yang dibahas Derrida dalam Of Grammatology, tentang kemungkinan akan adanya bentuk lain dari memory, sebuah fragmen memory yang tidak lagi berurusan dengan figurasi ruang yang dialami tetapi dengan sesuatu yang ia sebut sebagai jejak/trace. trace adalah kehadiran dari ketidakhadiran figurasi. sebuah kehadiran yang tidak memenuhi syarat metafisik kehadiran, sebuah ketidakhadiran yang bukan merupakan lawan dialektik dari kehadiran. ia lebih berupa ketidakhadiran yang tidak hadir. dalam desain ia hadir suka-suka, merefleksikan ruang dan waktu sebagai sebuah index keduanya. kejelasan figure/ground yang umum dalam dialektika arsitektur kontemporer menjadi tidak penting lagi, karena estetika adalah buram jejaknya. yang bila ditilik lebih lanjut, kaitannya dengan townscape-nya Gordon Cullen menjadi sangat erat. meng-hiperboliskan rasa/sense indra kita menjadi bagian dari tujuan kita mewujudkan ketidakhadiran yang belum hadir, melalui tiga poin yang memang sulit dijelaskan dalam rumus yang pasti, yaitu visual, posisi, dan content, yang baunya memang sangat relatif terhadap waktu dan orientasi pengguna. yaa.. saya ini hanya makhluk kecil. tapi punya semangat untuk mewujudkan hasil semedi pikiran. hasil bukanlah satu prioritas. prosesnyalah yang memperkaya kita, sebenarnya..
wah.. pusing saya..

jadi.. buatlah diri kita memahami, selamilah bidang anda sedalam mungkin, dan jual ide anda semampu yang anda bisa. karena bila berangkat dari niat yang baik, dimengerti segala sebab akibatnya, dimengerti konsekuensinya, dipikir berulang2, dan dilaksanakan sepenuh hati, dan kemudian laku dijual, kita sudah menjalankan sebagian dari misi kaum siput. sisanya serahkan pada siput yang lain. percayalah bahwa banyak siput lain yang sedang bekerja sungguh2 juga..

1.2.09

jakarta menggodaku.




Benar. Jakarta telah menggoda saya. Menggoda untuk turut berkomentar. Tapi berkomentar sebenarnya sedikit haram hukumnya. Seorang Andrea Peresthu pernah berkata dalam sebuah kuliahnya saat ia menjadi seorang dosen tamu: bahwa ia (bung peresthu) pernah mengalami masa-masa dimana ia mengkritisi segala sesuatu. Protes adalah bagian dari kesehariannya sebagaimana yang selalu kita alami. Kondisi ruang sekitar kita -yang sangat jarang mendekati status idealnya- selalu menggelitik untuk mengeluarkan unek-unek di berbagai media blog pribadi. Tapi semakin kita belajar banyak, semakin pula mata kita terbuka bahwa protes adalah manifestasi ke-naif-an kita dalam menyikapi tekanan. 'Kita berpikir maka kita ada' kurang lebih setara dengan 'Kita protes maka kita manja'.

Sebagian kita telah belajar banyak, sehingga mudah untuk memahami bahwa semakin kita banyak membaca, semakin pula kita akan merasa bodoh. Semakin haus kita akan ilmu sebagai bagian dari solusi. Kita sering lupa bahwa protes lebih banyak membuang energi kita. Lupa bahwa energi yang ada dapat lebih bermanfaat bila dituangkan dalam karya nyata yang tentunya berdasar pada rasionalitas keilmuan.. Uncle Ben bilang 'with great power comes great responsibility', dengan wawasan yang semakin luas, kita punya banyak kesempatan untuk mengintervensi ruang hidup kita secara lebih sustainable (aspek fisik, sosial, dan ekonominya juga). Kebetulan hidup sebagai arsitek, sedih rasanya melihat karya yang seadanya, padahal nilai investasinya tinggi. Saya percaya bahwa 'any single intervention should provide added value - environmental and to the community'.

Beberapa minggu terakhir milis ikatan arsitek dipenuhi oleh unek-unek anggotanya, yang ter-kecewakan oleh jakarta kita tercinta. Banjir dimana-mana, kemacetan yang luar biasa, amburadulnya infrastruktur, budaya yang korup, menyesaki dada kita. Berpikir tentang solusi seakan selalu mengarahkan kita ke dunia fantasi. Sambil berharap tuhan turun tangan.
Hehe. Tapi jangan salah. Tuhan memang seakan turun tangan bila membaca banyaknya rekan-rekan yang peduli dan tidak sekedar protes.. Tuhan sedang turun tangan melalui individu yang peduli, dan mengerti bagaimana mengaplikasikan ilmunya. Bangga rasanya bila ingat bahwa kita punya banyak manusia brilyan.

Ingat bahwa urban design adalah sebuah engineering; 'socially responsible dicipline that intends to improve the living condition of people. We deal with material conditions of territory and tries to optimize human needs and new opportunities'.

Di level masyarakat dan atau pelaku pasar, poin mendasar seringkali terlupakan, dan terkadang dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Banyak pendapat selalu fokus pada perbaikan infrastruktur, alokasi program ruang untuk kepentingan yang lebih publik, desain bangunan ramah lingkungan, dan sebagainya.. Saya pribadi, lebih suka berpendapat bahwa yang terpenting adalah mengingat bahwa semua opini tersebut ujung-ujungnya akan mencubit pipi tembem kita untuk segera sadar untuk memperbaiki welfare system kita, dengan problem solving yang berorientasi pada masalah lokal.

Indonesia adalah negara berkembang yang sedang jatuh bangun. Sangat jelas terlihat bahwa permasalahan mendasar kita adalah ekonomi. Kesenjangan yang tinggi dan meluas, dan sebagainya..
Kondisi kita auranya sama dengan kota-kota eropa jaman awal perkembangannya. Mereka dulu sadar bahwa untuk kota agar dapat tumbuh dan berkembang positif, masyarakat yang tinggal di dalamnya haruslah sehat dan produktif, sehingga penguasa kota berusaha setengah mati menjamin kesehatan masyarakatnya. Pada masa itu, Disadari bahwa pekerjaan rumah penguasa adalah pada mata pelajaran 'prosperity and better living standard'.

Kembali ke permasalahan jakarta, kesenjangan ekonomi adalah beban terberat kita. Kota kita yang satu ini dibebani oleh masyarakat yang tidak siap mentalnya untuk hidup berkota. Budaya kesehariannya masih kampungan. Penguasa belum berhasil untuk mendidik warganya tentang cara hidup berkota.. Mulai dari hal printilan dari buang sampah sembarangan, sampai hal besar yang merepotkan seperti seenaknya tinggal dan membangun rumah di bantaran sungai atau di pinggir rel, atau di taman kota, atau di bawah jalan layang, ah.. kacaulah.. mau dikemanakan orang-orang kampung ini? kalau tidak bisa diusir, hayoo coba dididik! dibuat mengerti tentang konsekuensi hidup berkota.. bahwa 'life is hard and never fair, so get over it!' jangan dibiarkan manja untuk ingin selalu tinggal di landed house.. Penguasa harus mencerdaskan dan menyehatkan masyarakatnya! Pemerintah tidak boleh duduk leha-leha. Berdayakan tiap departemen! Perbaiki koordinasinya, dan kerja bakti, hajar semua masalah ruang kota dengan tegass! banyak yang dukung kok asal langkahnya komprehensif dan cerdas! jangan hanya menyelesaikan satu persatu masalah secara terpisah-pisah.. hanya akan mengundang konflik.. misalnya.. tidak mungkin menggusur warga kalau belum bisa menyediakan hunian vertikal yang layak, sehat, dan terjangkau. Seperti tidak mungkin menggusur PKL kalau permasalahan welfare systemnya belum dicoba disentuh secara nyata..

Jadikan masyarakat miskin kita bagian dari strong middle class.. Bagaimana caranya? menurut saya, terdapat tiga hal terpenting, yaitu | nutrition/health | education/job creation | living condition/environment |.. Ketiga hal ini adalah inti dari ide tentang perbaikan welfare system kita.

Lalu dimana peran urban design? nah, penguasa harus menyadari bahwa desain memegang salah satu kunci terpentingnya.. untuk membentuk masyarakat yang sehat, mendukung produktivitas dalam edukasi dan penciptaan lapangan kerja, mutlak diperlukan living condition yang memadai, layak, dan menyehatkan.. Para arsitek yang masih sadar, kembalilah pada prinsip-prinsip fisika bangunan dalam desain arsitektur yang benar.. Gunakan desain (arsitektur) untuk merekonstruksi way of life masyarakat kita.. Bongkar hunian padat yang membelakangi kali.. Beri orientasi arah yang baru, ciptakan ruang aktif di pinggiran sungai. Kembalikan hak publik untuk bebas menikmati daerah pinggir sungai dan laut dengan gratis, alokasikan ruang publik yang layak untuk setiap luasan tertentu. Desain sistem transportasi publik yang layak dan memadai untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi. Lawan arsitektur yang anti-urban. Ciptakan budaya berkota yang baik melalui desain urban.

Sadari bahwa tantangan kita adalah kita harus selalu hidup dalam limit-limit sumberdaya. Tidak ada yang murah di dunia ini. Tapi rasionalitas kita dapat dengan mudah membedakan mana solusi yang masuk akal dan yang mana yang hanya akan membebani kita di masa yang akan datang.

'any single intervention should provide added value - to the environment and to the community'

18.1.09

urban sprawl (part 1)

-->
(Arsitektur (compact city concept + urban lifestyle renewal)) solusi dalam kehidupan berkota kita
-->
Pendahuluan: isu indonesia ..
Melihat sejarah perkembangan kota-kota di Indonesia, sebenarnya sedikit banyak kita dapat memprediksi arah bentuk kota-kota kita di masa yang akan datang. Kita mengalami isu sosial dan perekonomian yang kurang lebih sama dengan kota-kota besar di negara maju yang telah lebih dulu mengalami keadaan kita saat ini. Berkembangnya pusat-pusat perekonomian yang terancang secara terpusat di kota-kota besar, mengundang dampak yang sangat luas dalam pandangan masyarakat tentang cara hidup secara keseluruhan. Masyarakat kita yang sebelumnya dipandang sebagai masyarakat agraris, tergoda untuk meninggalkan bidang olah lahan dan mengadu nasib di kota-kota besar sebagai buruh, pekerja kasar, karyawan, dan sebagainya. Mata pencaharian sebagai petani sudah tidak ‘in’ lagi dan dianggap sebagai pekerjaan tingkat rendah. Kaum muda desa beralih ke kota-kota besar yang seolah-olah menjanjikan penghasilan dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas hidup di desa atau kota kecil.
Hal berubahnya cara hidup masyarakat tersebut pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang mengubah bentukan kota. Kota kemudian menerima arus pendatang yang begitu tinggi dan dalam waktu singkat dipaksa untuk mampu melayani pertambahan jumlah penduduk yang terkadang di luar kapasitas kota itu sendiri. Karakter kota kemudian terbentuk oleh perubahan sistem yang terjadi. Struktur masyarakat yang tertata dan memiliki hirarki sesuai dengan peran masing-masing warga masyarakat dalam kontribusinya terhadap aktivitas berkota, mau tidak mau kemudian menghadapi pada pengadu nasib yang datang.
Dinamika urbanisasi di Indonesia menunjukkan kecenderungan berkelanjutan yang sama dengan bagian lain di dunia. Pada saat ini, rata-rata pertumbuhan penduduk urban 2 - 2,5 kali lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk rata-rata nasional. Hal yang sama dialami oleh negara-negara berkembang lainnya. Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk nasional sekitar 1,5% per tahun, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia berkisar antara 3,0 – 3,5% per tahun. Hubungan yang relatif stabil antara kota dan desa, atau antara daerah urban dan rural di sekitarnya, telah menjadi hubungan yang asimetris, dan bergeser secara berkelanjutan ke arah perluasan daerah urban. Dalam kondisi seperti ini, semua pemikiran yang menghendaki keseimbangan antara kota dan desa hanyalah utopia tanpa dasar rasional.
Mungkin anggapan yang memandang bahwa kota tidak henti menawarkan pekerjaan memang benar. Ada begitu banyak bidang yang dapat digarap; dari pekerjaan formal sampai non-formal. Bahkan bila gagal dalam mendapatkan peran yang beradab dalam aktivitas berkota, mengemispun bisa mendatangkan materi yang relatif lebih dari cukup. Tetapi tidak semua kota kita siap dalam menghadapi arus urbanisasi. Kenyataan yang terjadi, infrastruktur kota kita tidak siap menghadapi urbanisasi, demikian pula halnya dengan sarana prasarana yang ada. Hal ini kemudian menyebabkan permasalahan kota yang sulit dicari pemecahannya. Terus bertambahnya jumlah penduduk meningkatkan kebutuhan ruang bagi masyarakat, dan keterbatasan ruang membuat kota tidak dapat menyediakan ruang yang cukup optimal untuk tempat tinggal dan ruang aktivitas lain.
Akibatnya jelas: kota berkembang dengan pesat secara horizontal untuk memenuhi kebutuhan ruang yang terus meningkat. Hal ini diperparah oleh pihak pengambil kebijakan yang seakan tidak siap untuk memberi batasan-batasan, sehingga kota terus memakan lahan di sekitarnya dan membuat kota terus meluas seakan tanpa henti, dan seakan tinggal menunggu waktu, menunggu titik jenuh dimana kehidupan berkota akan menghadapi lumpuhnya infrastruktur dan morfologi kota yang tidak berorientasi terhadap kebutuhan manusia penghuninya.
-->
Urban sprawl ..
Ekspansi kawasan metropolitan dengan pesat secara horizontal, umum dikenal dengan istilah urban sprawl, yang menghasilkan pola horizontal yang kompleks dari pengembangan land-use, transportasi, sosial, dan ekonomi. Kawasan rural di pinggiran kota ini terus berkembang dalam bentukan yang cenderung low-density / berkepadatan rendah. Ekspansi lahan tersebut tentunya didukung oleh faktor utama: kemudahan pergerakan, yang dalam hal ini terutamadiartikan dalam bentuk pergerakan kendaraan pribadi dari kawasan penyangga ke pusat kota, terkait dengankemudahan kepemilikan kendaraan oleh masyarakat.
Masyarakat yang ‘tidak kebagian’ lahan di pusat kota kemudian lebih memilih untuk tinggal dalam landed houses, single detached houses di pinggiran kota yang dianggap lebih ‘rumah’ dibandingkan dengan vertical houses di tengah kota. Pilihan untuk menjadi komuter pada awalnya terasa sangat menarik dengan tersedianya jalan bebas hambatan terintegrasi yang mempersingkat jarak dan waktu tempuh. Tetapi konversi lahan sekitar kota yang terus-menerus menjadi hunian dan pelengkapnya, pada akhirnya menyusul kecepatan penyediaan infrastruktur transportasi oleh pemerintah. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan karakter-karakter utama dari urban sprawl, yaitu:
· single use zoning
Merupakan situasi dimana area komersial, residensial, serta industri terpisah antara satu dengan yang lainnya. Konsekuensinya, lahan dalam jumlah besar digunakan untuk fungsi tunggal dan dipisahkan dengan fungsi lainnya dengan ruang terbuka, infrastruktur, serta penghalang lainnya. Akibatnya, konsep tempat dimana manusia dapat hidup, bekerja, dan bermain (berbelanja, berekreasi) tidak tercapai dan terpisah. Pada umumnya, kondisi ini menyebabkan situasi dimana berjalan kaki sudah menjadi hal yang sangat tidak praktis dan seluruh aktivitas cenderung membutuhkan kendaraan pribadi.
· low-density land use
Sprawl mengkonsumsi lebih banyak lahan karena pengembangan baru pada umumnya bersifat low-density. Indikator utama dari low-dens adalah bangunan landedlow-dens ini adalah lahan yang dikembangkan/ di-urban-kan meningkat lebih cepat dari pertumbuhan populasi penduduk yang ada. untuk keluarga tunggal. Jumlah lantai relatif rendah dan memiliki ruang yang memisahkan bangunan satu dengan lainnya. Ukuran kavling lebih besar dan penggunaan kendaraan menyebabkan kebutuhan lahan parkir yang relatif lebih besar pula. Dampak pengembangan
· car dependent communities
Kota yang mengalami urban sprawl pada umumnya akan mengalami ketergantungan yang tinggi pada kendaraan. Aktivitas yang umum dilakukan seperti berbelanja, pergi bekerja, dan sebagainya, mensyaratkan penggunaan kendaraan sebagai akibat jarak yang besar antara fungsi residensial dengan fungsi lainnya. Berjalan kaki dan moda transportasi lainnya tidak praktis sehingga pada umumnya kawasan tidak memiliki pedestrian yang memadai dan kehidupan berkota semakin tidak berkualitas. Hubungan antar aktivitas, hubungan antar fungsi, bahkan hubungan antar manusia memiliki jarak.
Sebuah kota hanya dapat berfungsi dengan baik bila kawasan-kawasannya berfungsi dengan baik. Artinya, setiap kawasan secara internal berfungsi dengan baik, dan hubungan antar kawasan berlangsung seimbang dan saling mengisi (compatible). sebuah kota yang hanya dapat menyediakan tempat kerja tapi tidak dapat menyediakan tempat tinggal bagi yang bekerja adalah sebuah kota yang cepat atau lambat akan menjadi tidak efisien. Tentu saja, tidak ada kota besar tanpa komuter, tetapi pengalihan fungsi residensial menjadi kawasan komersial ada batasnya. Bila batas itu terlampaui, akan timbul ketidakseimbangan fungsional yang merupakan awal dari proses disintegrasi fungsi kota.