14.4.10

kota yang menangis ditampar kebodohan pergerakan


Saya, walau terkadang sangat terbantu oleh mobil dalam mobilitas sehari-hari, sebenarnya merasa berdosa menggunakannya. Pengetahuan adalah beban, dan semakin membaca isu-isu keberlanjutan (sustainability) semakin merasa berdosalah saya menggunakan mobil. Tidak ada secuil bagian dari perkembangan mobil saat ini, yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Brundtland report menjelaskan pendekatan keberlanjutan setidaknya didukung oleh 4 pilar utamanya: usaha mengurangi kemiskinan (dengan penjelasan bahwa kemiskinan turut mendegradasi kualitas lingkungan), usaha mengurangi konsumsi sumber daya dan mengurangi produksi sampah, kerjasama global dalam menjawab isu lingkungan, serta pendekatan keberlanjutan yang community-based dengan mempertimbangkan budaya lokal.

Mobil adalah alat transportasi yang sangat personal, yang dalam kehidupan berkota menuntut ketersediaan ruang yang sangat besar. Uni of Northampton merilis data bahwa pada jam sibuk di Inggris, 80% mobil yang memenuhi jalan hanya terisi oleh pengemudinya; sehingga terdapat 38 juta kursi kosong di Inggris setiap harinya. Bila di Inggris saja terdapat 38 juta kursi kosong, kita dapat membayangkan betapa tidak efisiennya moda transportasi ini bagi masyarakat di kota-kota besar kita, yang harus berhadapan dengan kemacetan setiap harinya. Hal ini diperparah dengan tidak ramahnya ruang luar di kota-kota kita, sehingga untuk mencapai jarak 300 meter saja, banyak orang memilih menggunakan mobil.

Tentunya pihak produsen juga sepenuhnya sadar akan hal tersebut, dan mencoba menggoda konsumen dengan usaha yang mereka sebut-sebut semakin men-sustainable-kan moda transportasi ini. Mesin hybrid, semi elektrik, pengembangan bahan bakar, dan pengembangan-pengembangan lain yang membuat konsumen merasa lebih sedikit berdosa dan harus membayar lebih mahal. Namun hal-hal tersebut tidak mengurangi dosa mobil terhadap pembentukan ruang-ruang kota kita, terhadap budaya dan perubahan gaya hidup masyarakat kebanyakan.

Saya meyakini bahwa kita telah salah arah dan semakin tersesat dalam kebijakan transportasi kita. Pemerintah baru-baru ini melansir rencana kerjasama dengan produsen mobil untuk memproduksi mobil murah di kisaran harga 70 juta rupiah. Apa yang sedang dipikirkan oleh pemerintah? Sampai kapan badai invasi mobil terhadap ruang sosial kita ini berlangsung? Mau sampai kapan pemerintah kita terjebak dalam kewajiban untuk membangun jalan tol secara masiv? Dan tentunya, gaya hidup pergerakan seperti apa yang dicita-citakan pemerintah kita dan ruang kota seperti apa yang akan dibentuk? Bagaimana kemudian arsitektur dapat menolong ruang kota kita? Tentu arsitektur tidak ingin hanya menciptakan ruang-ruang pelarian dari kejamnya jalanan ibu kota, melainkan turut berkontribusi positif bagi kehidupan berkota.

Ancaman yang besar dari budaya masyarakat bermobil, adalah bahwa seperti manifestasi teknologi lainnya, pada akhirnya jutaan unit mobil akan berakhir sebagai sampah yang menuntut daur ulang besar-besaran, menimbulkan masalah ketergantungan, mengisolasi masyarakat dari potensi interaksi sosial selama pergerakan, menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal, dan proses tersebut irreversible.

Tempo hari, saya menjalani ritual mengunjungi orangtua di Jakarta. Seperti biasa, Senin pagi saya menyaksikan bagaimana ribuan mobil yang menuju Jakarta berhenti di sepanjang jalan tol JORR Cikunir sampai Bekasi Timur karena macet. Tentu tidak perlu dijelaskan bagaimana kondisi lalulintas di sekitar pusat aktivitas dalam kota Jakarta. Hal tersebut jelas merupakan gejala dimana masyarakat komuter ‘disiksa’ oleh keterbatasan pilihan moda transportasi yang layak. Benar bahwa moda transportasi mobil mengalami kemajuan teknologi yang pesat, namun jebakan ketergantungan terhadap mobil pribadi dan kecenderungan terhambatnya pengembangan transportasi massal merupakan ancaman yang serius bagi ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat kita. Semakin jelas bahwa pendekatan transportasi kita merupakan model yang harus berubah.

Kabar selanjutnya lebih menyedihkan lagi. Seorang kerabat dekat, dengan pendapatan yang sebenarnya telah lumayan cukup, kemudian lebih memilih untuk memiliki sebuah mobil daripada mencicil rumah. Ini adalah sebuah sistem yang gila, atau lebih tepatnya sengaja dibuat gila oleh sebagian kaum kapitalis yang berkepentingan dalam hal ini. Mungkin teori-teori sosial perlu berubah, khusus untuk kondisi lokal kita agar lebih kontekstual. Kebutuhan primer kita bukan lagi sandang pangan papan, tetapi sandang pangan mobil. Mungkin papan sudah menjadi kebutuhan sekunder yang tidak begitu penting. Selama masih bisa menumpang di rumah mertua, saudara, kerabat, dan sebagainya. Pada kondisi ini, arsitektur telah kalah diminati masyarakat dibandingkan sebuah benda bermotor dengan empat roda.

Dengan setengah terpaksa, saya kemudian memilih untuk mengendarai motor dalam mobilitas sehari-hari. Dengan begitu, saya merasa lebih sedikit berdosa terhadap ruang kota, dan mengurangi jumlah kursi kosong di jalan-jalan kota kita. Tapi tetap saja, saya merasa mungkin dalam waktu dekat akan tiba waktunya dimana jumlah motor di jalan raya menjadi masalah baru bagi ruang urban kita.




Pustaka:

James Steele: Sustainable Architecture: Principles, Paradigms, and Case Studies

Peter Newman + Jeffrey Kenworthy: Sustainability and Cities: Overcoming Automobile Dependence

No comments: