29.4.10

black swan dan arsitektur

Black swan merupakan sebuah simbol dari pemikiran yang terbuka terhadap anomali. Anomali dalam peradaban seringkali terjadi dan hal ini merupakan sebuah keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi, bukan merupakan sesuatu hal yang istimewa. Gejala-gejala penyimpangan dan penemuan-penemuan baru (secara statistik) dijelaskan akan selalu terjadi dari masa ke masa dan seringkali menimbulkan polemik dalam masyarakat. Namun percayalah bahwa hal tersebut akan segera berlalu dan sekedar menjadi bagian dari sejarah peradaban. Tentu saja selalu ada kejadian penting yang mengubah hidup kita secara signifikan, dan ada yang sekedar memberi warna pada sejarah. Yang menarik adalah bagaimana terkadang hal yang sebenarnya tidak terlalu signifikan mampu membuat masyarakat terkaget-kaget, bergolak, dan rusuh. Ada keterkejutan dalam menghadapi sebuah event baru.

Kadangkala kita berharap semuanya berjalan dengan normal-normal saja, namun ini bukanlah jalan hidup peradaban manusia. Bila kita memandangnya dari sudut pandang positif, pada masa kita hidup saat ini kita terus didorong untuk berpikir dan dituntut untuk menyumbangkan ‘kebaruan’ dalam karya-karya kita. kita secara tidak langsung terus dituntut peradaban untuk mencari-cari black swan baru. Kita haus akan penemuan-penemuan baru. Adakalanya berhasil, seringkali tidak terlalu berhasil.
Taleb mendeskripsikan posisi peradaban kita saat ini sebagai sebuah extremistan, dimana kita tunduk pada tirani hal/ kejadian yang tunggal, kebetulan, tidak terlihat, dan tidak dapat diramalkan. Ia membedakan extremistan dengan mediocristan pada peradaban masa lalu, dimana kita tunduk pada hal-hal yang kolektif, yang rutin, yang jelas, dan yang dapat diramalkan.

Terkait dengan event, krisis ekonomi tahun 1998 adalah sebuah black swan. Kejadian ini me-revolusi bangsa kita. Beralihnya kekuasaan dari rezim militer kepada sipil memberi ruang gerak luar biasa bagi kebebasan masyarakat. Perkembangan kebebasan informasi melalui industri media saat ini telah jauh berada di depan negara tetangga seperti Malaysia atau bahkan Singapura.

Tapi dimana kita dapat menemukan black swan dalam arsitektur Indonesia? Pertanyaan yang memunculkan pertanyaan baru: mengapa sepertinya sulit mencari kejadian penting yang muncul dari karya arsitektur kita? Apakah karena pencarian kita selama ini datar-datar saja? Apakah karena selama ini kita tenang-tenang saja karena didukung oleh alam yang bersahabat? Lantas kritik yang muncul adalah bahwa “sebagian besar arsitek kita tidak dalam pencarian”. Benarkah?
Dalam arsitektur, menurut saya, rumah baja karya Djuhara adalah sebuah black swan skala kecil pada masanya, dimana ia muncul di luar harapan masyarakat umum: sebuah hunian dari susunan baja bekas, yang sangat layak untuk ditinggali. Secara positif karya ini kemudian mendorong munculnya workshop-workshop dan studi lebih lanjut tentang rumah baja, walau kemudian kembali tenggelam setelah harga baja melonjak tinggi akibat pembangunan besar-besaran bangsa Cina.

Atau mungkin karena arsitek-arsitek kita dididik secara sederhana: hanya untuk menjadi the doer, bukan sekaligus the thinker? Padahal kita mengerti desain sebagai sesuatu yang berada di antara aksi dan pemikiran yang mendalam. Sehingga memang arsitek selalu dituntut untuk sanggup memerani “do” dan “think” sekaligus. Do tanpa think laksana drafter, dan think tanpa do laksana pertapa arsitektur. Jenis yang mana yang kita harapkan dari lulusan perguruan tinggi arsitektur kita?

Seorang rekan kebetulan bekerja di sebuah perguruan tinggi arsitektur yang dikenal sangat berorientasi pasar. Dari perbincangan sederhana, ia menjelaskan konsep pendidikan yang dilaksanakan perguruan tinggi tersebut. “..kami realistis, harus diakui bahwa pasar kita menuntut lulusan siap pakai. Bila yang diminta pasar adalah drafter, ya kita sediakanlah.. Justru di situlah kekuatan kami. Terbukti bahwa kemudian konsep ini berhasil dan pengakuan dari masyarakat pun kemudian muncul, bahwa lulusan kami siap kerja.”

…….

Tentulah konsep demikian tidak dapat disebut salah. Saya rasa setiap perguruan tinggi (terutama swasta) perlu menajamkan konsep yang menjadi bagian dari pembentukan brand image-nya di mata masyarakat. Namun tentunya kita berhak untuk memberi kritik membangun. Bahwa ketajaman berpikirlah yang akan memajukan arsitektur bangsa ini. Di tengah tekanan untuk terus mempersingkat waktu studi, saya khawatir perguruan tinggi kita semakin terjebak dalam konsep praktis, untuk menyediakan yang diinginkan pasar. Sehingga, kemudian bukan hanya karya arsitekturnya yang disebut komoditas (hal ini sudah cukup buruk), tapi lulusan perguruan tinggi arsitektur juga kemudian menjadi komoditas dagangan. Astagfirullah.

Pustaka: The Black Swan, Nassim Nicholas Taleb

No comments: